Biang Kerok – Siapa sangka, buah kelapa yang dulunya dianggap murah meriah, kini mulai menjelma jadi barang “mewah”? Harga kelapa di berbagai daerah mengalami lonjakan drastis, bahkan di beberapa pasar tradisional mencapai dua kali lipat dari harga normal. Fenomena ini tentu memicu keresahan—bukan hanya bagi pelaku industri olahan kelapa, tapi juga konsumen rumah tangga yang setiap hari bergantung pada santan untuk keperluan masakan.
Pertanyaannya: apa sebenarnya biang kerok dari lonjakan harga kelapa ini? Apakah ulah tengkulak, gagal panen, atau permainan pasar yang licik? Mari kita bongkar satu per satu penyebab di balik kenaikan harga yang bikin kepala ikut panas ini.
Cuaca Ekstrem dan Gagal Panen, Masalah Klasik Tapi Berdampak Besar
Salah satu penyebab utama yang tak bisa di abaikan adalah cuaca ekstrem. Dalam beberapa bulan terakhir, banyak daerah penghasil kelapa utama seperti Sulawesi, Riau, dan sebagian Kalimantan mengalami musim kering berkepanjangan. Kekeringan ini membuat banyak pohon kelapa gagal berbuah atau menghasilkan buah dengan kualitas buruk—kecil, kering, dan tidak mengandung cukup air atau daging.
Ketika pasokan menurun drastis, otomatis harga akan terdongkrak naik. Ini adalah hukum pasar yang sederhana, tapi efeknya memukul banyak sektor, dari industri makanan hingga pedagang kecil di pasar. Di tambah lagi, proses distribusi dari daerah penghasil ke kota besar menjadi lebih lambat karena produksi di tingkat petani benar-benar anjlok.
Baca juga : Investasi Emas, Pegadaian Harap Masyarakat Tak Sekadar Ikut
Permintaan Ekspor yang Gila-Gilaan
Tak bisa dipungkiri, kelapa Indonesia jadi incaran pasar luar negeri. Dari minyak kelapa, santan instan, hingga sabut kelapa untuk keperluan industri, semuanya laku keras di pasar global. Negara-negara seperti India, China, dan negara-negara Eropa sedang gencar-gencarnya impor produk berbasis kelapa karena dianggap sehat dan multifungsi.
Fenomena ini jelas menguntungkan eksportir besar. Namun di sisi lain, pasokan untuk kebutuhan dalam negeri jadi tersedot habis. Harga pun otomatis naik karena pasokan lokal menyusut. Ini adalah ironi yang memuakkan: kita negara penghasil kelapa terbesar, tapi rakyatnya justru kesulitan mendapat kelapa murah.
Peran Tengkulak dan Kartel Harga
Jangan tutup mata, tengkulak dan pemain besar di balik rantai distribusi kelapa punya andil besar dalam menciptakan krisis harga. Banyak petani yang terpaksa menjual dengan harga murah ke pengepul karena tak punya akses langsung ke pasar. Pengepul inilah yang kemudian memonopoli dan memainkan harga di tingkat pasar konsumen.
Sistem distribusi yang tidak adil ini membuat harga di tingkat petani dan harga di pasar bisa berbeda jauh. Satu kelapa bisa di beli dari petani hanya Rp1.000, tapi di jual di kota dengan harga Rp6.000 atau lebih. Margin keuntungan yang luar biasa besar ini menunjukkan adanya praktik yang tidak sehat dalam rantai distribusi.
Kebutuhan Industri Meningkat, Tapi Produksi Jalan di Tempat
Kelapa kini bukan hanya untuk dapur rumah tangga. Industri kosmetik, farmasi, dan kesehatan turut menjadikan kelapa sebagai bahan baku utama. Mulai dari virgin coconut oil (VCO), sabun organik, hingga masker wajah, semuanya menggunakan ekstrak kelapa. Permintaan dari sektor ini meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Sayangnya, peningkatan kebutuhan ini tidak di iringi dengan peningkatan produksi. Banyak lahan kelapa yang terbengkalai, kurang perawatan, dan tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah setempat. Tak ada inovasi dalam budidaya, tidak ada regenerasi petani kelapa, dan program peremajaan pohon pun minim. Alhasil, industri tumbuh, tapi akar pasokan tetap stagnan.
Minimnya Intervensi Pemerintah
Ini bagian paling menyakitkan. Di tengah melonjaknya harga, belum terlihat langkah konkret dari pemerintah untuk meredam kegaduhan ini. Tak ada regulasi tegas yang mengatur distribusi atau perlindungan harga di tingkat petani. Subsidi atau program peremajaan kebun kelapa pun seakan hanya wacana yang tak pernah menyentuh realita di lapangan.
Jika terus di biarkan, kelapa bukan cuma jadi mahal—tapi bisa menghilang dari dapur masyarakat kecil. Yang menikmati untung adalah pemain besar dan pasar ekspor, sementara rakyat cuma kebagian remah kelapa dengan harga selangit.