Tren Glow Down Challenge Di TikTok Tuai Pro-Kontra, Netizen Bingung Self-Love Atau Self-Destruct

Tren Glow Down Challenge – TikTok memang tak pernah kehabisan tren yang memancing kontroversi. Setelah bertahun-tahun publik di suguhi konten “glow up” transformasi dramatis dari penampilan kusut menjadi versi glamor diri kini muncul kebalikannya: Glow Down Challenge. Sebuah tren yang menunjukkan perubahan seseorang ke arah yang “lebih buruk”. Tapi apakah ini bentuk kejujuran, sindiran, atau justru glorifikasi kehancuran diri?

Glow down tidak hanya berbicara soal fisik. Beberapa pengguna menampilkan wajah slot depo 5k dengan mata sayu, tubuh yang terlihat lebih kurus atau lesu, di sertai narasi seperti “Dulu aku bahagia, sekarang hanya sisa-sisa.” Sebuah konten yang mengguncang tidak hanya karena penampilannya, tetapi juga karena pesan emosional yang di bawanya. Apakah ini ekspresi luka yang butuh empati, atau sekadar ajang cari perhatian yang merusak?

Kronologi Kontroversi Tren Glow Down Challenge

Tidak sedikit yang merasa bahwa tren ini lebih dari sekadar tren. Beberapa pakar kesehatan mental menyuarakan kekhawatiran soal dampak psikologis dari konten semacam ini, terutama bagi audiens muda yang masih labil secara emosional. Glow down di anggap memperindah penderitaan, membuat kejatuhan terlihat “estetik”, dan mengaburkan batas antara self-love dan self-destruction.

Komentar seperti “kamu tetap cantik meski down” atau “aku relate banget, ini aku setiap hari” justru memperparah glorifikasi penderitaan. Bukannya mengajak untuk bangkit, tren ini malah menyeret banyak orang ke spiral negatif yang sulit di hentikan. Bagaimana tidak? Jika kehancuran jadi viral, bukankah itu sinyal bahwa penderitaan adalah cara baru untuk mendapat validasi?

Baca Juga Berita Terbaik Lainnya Hanya Di emilyandmattswedding.com

Beauty Standard yang Terbalik, Tapi Masih Mengikat

Ironisnya, tren ini juga tidak lepas dari standar kecantikan. Meski bertajuk “glow down”, banyak pengguna yang tetap terlihat ‘menarik’ meskipun dengan riasan mata panda atau pencahayaan redup. Apakah ini benar-benar glow down atau hanya versi baru dari pencarian pengakuan?

Tren ini mengklaim ingin menghancurkan standar kecantikan yang kaku, tapi malah menciptakan standar baru: bahwa bahkan dalam kejatuhan pun, kamu harus terlihat “fotogenik”. Sebuah paradoks yang membingungkan, menyulut kebingungan di benak banyak netizen: ini self-acceptance atau justru pengkhianatan terhadap self-care?

Netizen Terbelah: Bentuk Kejujuran atau Ajang Eksploitasi?

Komentar di kolom TikTok penuh dengan dua kutub. Satu pihak menyebut tren ini sebagai bentuk kejujuran yang menyentuh, cara jujur menampilkan kenyataan hidup yang tidak selalu bahagia. Sementara yang lain menyebutnya toxic, bahkan destruktif, karena bisa memicu perasaan rendah diri dan menormalisasi gangguan mental.

“Ini bukan self-love, ini glorifikasi trauma,” tulis seorang pengguna. Di sisi lain, ada yang berkomentar, “Akhirnya ada tren yang nggak fake. Ini realita.” Perdebatan panas pun tak terelakkan. Satu pihak merasa tersentuh, satu pihak merasa di provokasi. Tapi satu hal pasti: tren ini tidak bisa di abaikan.

Saat Luka Diberi Filter dan Musik Latar

Glow down challenge tidak hanya berupa visual. Musik latar, filter redup, serta narasi mendalam turut membentuk atmosfer konten yang intens. Lagu-lagu sedih di putar lambat, filter abu-abu mendominasi, dan ekspresi wajah tanpa senyum jadi ciri khas. Estetika kehancuran ini justru menarik jutaan views, likes, dan komentar.

Banyak yang menyebut ini sebagai “era kejujuran digital.” Tapi benarkah demikian? Atau ini hanya cara baru untuk mengeksploitasi luka agar tetap relevan di jagat algoritma? Ketika penderitaan di sulap menjadi konten viral, kita harus bertanya: apakah media sosial masih ruang aman, atau sudah jadi panggung eksploitasi emosi?

Self-Love Jadi Komoditas, Self-Destruct Jadi Tren

Sebuah ironi pahit di era digital. Di satu sisi kita di dorong untuk mencintai diri sendiri. Di sisi lain, kita di hadapkan pada konten-konten yang menormalisasi kehancuran, kelelahan mental, dan kemunduran sebagai sesuatu yang “keren”. Glow down bukan lagi sekadar tantangan, tapi cermin retak dari generasi yang kelelahan secara kolektif dan anehnya, merasa perlu membagikannya secara estetis.