Iran Geram Warganya Dilarang – Amerika Serikat kembali menuai kecaman keras dari berbagai belahan dunia setelah secara resmi melarang masuknya warga negara Iran ke wilayahnya. Pemerintah Iran meradang, menyebut kebijakan ini sebagai bentuk rasisme terselubung yang di bungkus dengan dalih keamanan nasional. Ini bukan kali pertama Washington meluncurkan kebijakan yang di anggap penuh di skriminasi terhadap negara-negara Muslim, namun respons kali ini jauh lebih panas.
Kementerian Luar Negeri Iran mengecam larangan ini sebagai tindakan xenofobia terang-terangan. Mereka menegaskan bahwa langkah tersebut mencerminkan mentalitas rasis yang masih melekat kuat dalam sistem pemerintahan Amerika. “Ini bukan tentang keamanan, ini tentang ideologi kebencian yang masih hidup dan di lestarikan dalam kebijakan luar negeri mereka,” tegas salah satu juru bicara kementerian tersebut.
Alasan Keamanan atau Stereotip Usang?
Pemerintah AS berdalih bahwa larangan tersebut di berlakukan demi melindungi keamanan nasional dari potensi ancaman terorisme. Namun, fakta menunjukkan tidak ada bukti signifikan bahwa warga Iran di AS pernah melakukan aksi teror besar yang membahayakan negara tersebut. Justru, kebanyakan warga Iran yang tinggal di AS adalah akademisi, mahasiswa, profesional, dan keluarga yang berkontribusi pada masyarakat.
Larangan ini justru menunjukkan bahwa pemerintah AS masih terjebak dalam stereotip usang yang mengidentikkan Iran dengan ancaman. Padahal, membatasi akses warga sipil atas dasar kewarganegaraan adalah bentuk hukuman kolektif yang tidak hanya tidak adil, tapi juga memalukan. Dunia internasional melihat ini sebagai bentuk rasisme sistemik—sebuah upaya untuk menstigmatisasi suatu bangsa berdasarkan asal-usul mereka.
Reaksi Warga Iran: Marah dan Terhina
Di berbagai kota besar di Iran, ribuan warga turun ke jalan, memprotes kebijakan tersebut. Banyak dari mereka mengangkat poster bertuliskan “Kami Bukan Teroris” dan “AS Takut Akan Pengetahuan Kami”, menyindir kenyataan bahwa banyak warga Iran yang mendapat beasiswa pendidikan tinggi di universitas ternama AS.
Baca juga: https://emilyandmattswedding.com/
Mahasiswa yang semula berencana melanjutkan studi ke Amerika kini berada dalam ketidakpastian. “Saya punya surat penerimaan dari MIT, tapi sekarang semua rencana saya hancur,” ujar Roya, seorang mahasiswi teknik dari Teheran. Air matanya tak bisa di sembunyikan. “Apa salah saya? Hanya karena saya lahir di Iran?”
Warga Iran merasa di permalukan, bukan hanya di hadapan dunia, tapi juga di depan generasi muda mereka yang bercita-cita tinggi. Larangan ini menjadi pukulan telak terhadap semangat kemajuan dan kolaborasi antarbangsa.
Standar Ganda dan Ironi Global
Yang membuat kebijakan ini semakin mencolok adalah standar ganda yang di terapkan Amerika. Negara ini, yang kerap mengaku sebagai pembela hak asasi manusia dan kebebasan individu, justru menutup pintu bagi mereka yang tak bersalah, hanya karena paspor yang mereka bawa.
Sementara itu, negara-negara yang punya rekam jejak pelanggaran HAM yang nyata masih di beri keistimewaan masuk. Ini adalah ironi tajam yang menunjukkan bahwa “kebebasan” ala Amerika hanya berlaku untuk mereka yang sesuai dengan agenda politiknya.
Iran menuntut dunia internasional tidak diam. Dalam pernyataan resmi, Teheran menyerukan agar PBB dan organisasi internasional menekan Amerika Serikat untuk mencabut larangan di skriminatif tersebut. Jika tidak, ini bisa menjadi preseden berbahaya yang membuka jalan bagi kebijakan-kebijakan rasis lainnya.
Gelombang Kecaman Global
Tak hanya dari Iran, gelombang protes juga muncul dari komunitas internasional. Beberapa negara Muslim menyebut tindakan AS sebagai bentuk penghinaan terhadap martabat manusia. Organisasi-organisasi hak asasi manusia seperti Amnesty International dan Human Rights Watch juga menyuarakan penolakan keras.
Mereka mengingatkan bahwa kebijakan semacam ini hanya akan menumbuhkan kebencian dan memperkuat sentimen anti-Barat di kalangan masyarakat Timur Tengah. Alih-alih memperkuat keamanan, justru AS memperlemah citra dan moralnya di mata dunia.
Ketegangan antara Iran dan Amerika kini memasuki babak baru. Bukan hanya soal nuklir atau embargo ekonomi, tapi menyangkut hak dasar manusia: kebebasan bergerak, belajar, dan bermimpi. Dunia menyaksikan, dan pertanyaannya kini bergema di seluruh penjuru: sampai kapan kebijakan diskriminatif seperti ini akan di biarkan?